Ironis, ada yang mencengangkan dalam sistem ketenagakerjaan kita, di mana ada banyak permintaan yang diungkapkan oleh para karyawan pabrik di Indonesia. Bagaimana tidak? gaji yang semula hanya 1,2 juta kemudian menjadi 2,4 juta dan kini para karyawan buruh ingin menuntut meminta lagi menjadi 3,7 juta. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan jika dilihat dari sisi kepentingan karyawan namun berbeda situasinya jika berhadapan dengan kondisi perusahaan yang saat ini tengah dilanda konflik manajemen akibat banyaknya uang yang harus dikeluarkan untuk menggaji karyawan ditambah lagi semakin keras pula perlakuan perusahaan kepada perusahaan karena otomatis akan ada banyak yang di PHK lantaran cost yang terlalu tinggi untuk memenuhi permintaan tersebut.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak yang sama dalam penghidupan, bagi karyawan sepertinya sah-sah saja menuntut upah atau gaji tinggi karena memang saat ini kebutuhan meningkat.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak yang sama dalam penghidupan, bagi karyawan sepertinya sah-sah saja menuntut upah atau gaji tinggi karena memang saat ini kebutuhan meningkat.
Arus permintaan akan gaji besar hakekatnya tidak hadir dengan tiba-tiba, karena sebelum-sebelumnya para karyawan ini merasa diperlakukan tidak adil dengan adanya karyawan sistem outsourching yang notabene keberadaan mereka sebagai karyawan tetap menjadi pupus, ditambah lagi tindakan perusahaan yang terkesan membuat aturan yang sangat keras dengan membatasi jumlah hari libur dan hak cuti yang semestinya berlaku bagi mereka. Sama seperti karyawan lainnya di instansi yang berbeda.
Namun demikian, bagaimana jika kondisi karyawan perusahaan ini dibandingkan dengan para pekerja sosial, guru honorer yang telah mengabdikan seluruh hidupnya demi membantu pemerintah dalam mencukupi kekosongan pendidik PNS serta tugas pokok yang tidak kalah pentingnya yaitu mencerdaskan anak bangsa di sekolah-sekolah negeri maupun swasta?
Tentu saja hal ini akan cukup kontradiktif, jika melihat dan membandingkan dengan kondisi guru honorer di sekolah-sekolah negeri yang saat ini tengah dirundung duka. Dengan upah yang mereka terima berkisar antara 300-500 ribu selama sebulan, sedangkan pendidikan mereka rata-rata strata satu (S1) ternyata penghasilan mereka justru jauh dari kata memadai, meskipun mereka menerima insentif tiap tahun 1,2 juta itupun terkadang tidak merata. Kebutuhan yang tinggi tapi penghasilan yang tidak memadai. Apalagi beban kerja mereka seringkali melebihi beban guru PNS golongan IV di mana mereka harus menjadi guru kelas, harus melatih pramuka ditambah lagi sebagai tenaga tata usaha yang setiap hari harus merekap laporan bos yang tidak mudah.
Namun demikian, bagaimana jika kondisi karyawan perusahaan ini dibandingkan dengan para pekerja sosial, guru honorer yang telah mengabdikan seluruh hidupnya demi membantu pemerintah dalam mencukupi kekosongan pendidik PNS serta tugas pokok yang tidak kalah pentingnya yaitu mencerdaskan anak bangsa di sekolah-sekolah negeri maupun swasta?
Tentu saja hal ini akan cukup kontradiktif, jika melihat dan membandingkan dengan kondisi guru honorer di sekolah-sekolah negeri yang saat ini tengah dirundung duka. Dengan upah yang mereka terima berkisar antara 300-500 ribu selama sebulan, sedangkan pendidikan mereka rata-rata strata satu (S1) ternyata penghasilan mereka justru jauh dari kata memadai, meskipun mereka menerima insentif tiap tahun 1,2 juta itupun terkadang tidak merata. Kebutuhan yang tinggi tapi penghasilan yang tidak memadai. Apalagi beban kerja mereka seringkali melebihi beban guru PNS golongan IV di mana mereka harus menjadi guru kelas, harus melatih pramuka ditambah lagi sebagai tenaga tata usaha yang setiap hari harus merekap laporan bos yang tidak mudah.
Ditambah lagi status mereka untuk diangkat sebagai PNS pun sepertinya tinggal gigit jari lantaran peraturan pemerintah sudah menutup akses pengangkatan PNS dari honorer lantaran kuota mereka sudah cukup membludak. Apalagi akhir tahun 2013 merupakan akhir perjuangan mereka untuk diangkat sebagai PNS lantaran sudah ada seleksi berkas K1 dan K2 yang berakhir di tahun 2013 ini. Sebuah dilema yang penuh dramatis.
Apalagi jika dilihat tingginya permintaan gaji karyawan pabrik yang melampaui pegawai golongan IV yang tentu saja membawa arus kecemburuan dan keirian dari para honorer ini untuk menuntut gaji yang layak atau secara sporadis mereka mengundurkan diri dari honorer. Jika para honorer ini beralih profesi menjadi karyawan pun tidak mungkin lantaran perusahaan juga tidak serta merta dapat mengangkat karyawan baru dengan alasan kuota yang sudah penuh sesak apalagi perusahaan rata-rata mengangkat karyawan dengan pendidikan SMA. Di mana kecenderungan mereka bekerja lebih nurut daripada para karyawan yang berpendidikan tinggi. Walaupun saat ini ada banyak arus peningkatan gaji yang menurut pemerintah DKI Jakarta sudah melebihi batas kemampuan perusahaan. Seperti halnya keputusan Gubernur DKI Jakarta yang menetapkan Upah Minimum Propinsi (UMP) sebesar 2,4 juta rupiah. Keputusan final meskipun harus berujung pada penolakan para karyawan. Sulitnya memilih antara tetap menjadi guru honorer atau mengundurkan diri dan berpindah menjadi karyawan pabrik.
Pemerintah harus ingat bahwa guru honorer juga manusia biasa, kebutuhan tidak beda jauh dengan para karyawan pabrik. Honorer pun berhak mendapatkan kesejahteraan.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/
No comments:
Post a Comment